Senin, 22 Juni 2015 0 komentar

Tugas Softskill Ke-4 Akuntansi Internasional

Nama          : Asmi Nuqayah
NPM           : 27211775
Kelas           : 27211775

Inflasi Pada Republik Zimbabwe
·         Sejarah Terjadinya Inflasi
Zimbabwe, negara yang dulu pernah menjadi pengekspor pangan dan termasuk salah satu negara makmur di Afrika, kini menderita hyper-inflasi, krisis politik, dan wabah kolera. Dulu saat Robert Mugabe memerdekakan negerinya dari Inggris pada 1980, nilai Z$ 1 setara dengan 1 Poundsterling. Namun sekarang, Zimbabwe tengah menghadapi masalah inflasi yang semakin menjadi-jadi. Pada tahun 2006 inflasi mencapai 1.200%, 2007 mencapai 66.212%, dan yang lebih ngeri lagi inflasi di tahun 2008 mencapai 2.200.000%. Suatu tingkat inflasi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya sekaligus merupakan inflasi tertinggi di dunia.
Meskipun ekonomi tumbuh rata-rata lebih dari 4% per tahun antara 1980-1990. Dekade berikutnya melihat pertumbuhan yang lebih, tapi ini semua berubah pada tahun 2000. Disinilah merupakan titik balik utama bagi perekonomian mereka. Pertanian merupakan ekspor utama Zimbabwe, dan banyak peternakan yang sebelumnya memproduksi dan mengekspor tanaman di luar negeri kini dialihkan ke tangan orang lain, dalam banyak kasus, peternakan mereka berada di tangan pejabat pemerintah yang tidak tahu bagaimana bertani. Inflasi pada tahun 2000 di Zimbabwe lebih dari 55%, tetapi hanya satu tahun kemudian pada tahun 2001 inflasi telah mencapai lebih dari 112%. Tanah terus didistribusikan, modal terbang keluar negeri. Investor kehilangan kepercayaan yang diinvestasikan ke Zimbabwe, dan tidak ingin mengambil risiko memiliki modal mereka terikat dengan rezim Mugabe. Inflasi pada tahun 2003 adalah 598%. Dolar Zimbabwe mulai runtuh. Dengan barang esensial yang diimpor ke Zimbabwe, serta melemahnya mata uang mereka membuat produk lebih mahal untuk dibeli seperti makanan dan tempat tinggal. Pada tahun 2006, Dr Gideon Gono, kepala The Reserve Bank of Zimbabwe, melakukan 're-evaluasi, "di mana mata uang baru akan dicetak. Dolar 'Baru' itu bernilai sekitar 1000 dolar. Inflasi pada tahun 2006 adalah 1.281%. Angka itu terus bertambah hingga mencapai angka 2.2juta% pada tahun 2008. Angka ini amat-sangat mencengangkan, nilai mata uang Zimbabwe sangat kehilangan daya belinya.
Jatuhnya perekonomian negeri ini, dipicu oleh mismanajemen dan korupsi rezim Mugabe. Negara itu selama 1998-2002 juga terlibat perang dengan Republik Kongo, hingga menguras biaya ratusan juta dolar Amerika. Situasi kian parah setelah Mugabe menerapkan program reformasi lahan yang ngawur. Pada tahun 2000, diktator itu mengambil alih secara paksa lahan pertanian petani kulit putih untuk didistribusikan ke petani kulit hitam. Kebijakan ini menyebabkan 4.000 petani kulit putih kehilangan lahan. Di lain sisi warga kulit hitam tidak memiliki persediaan benih, pupuk, dan bahan bakar yang cukup. Zimbabwe terpaksa mengimpor biji pangan dari Afrika Selatan, Zambia, dan Malawi.
Sejak itu, ekonomi Zimbabwe terjun bebas. Ekspor pertanian, khususnya tembakau, turun drastis. Ini terjadi karena lahan tembakau, yang pada 1999-2000 luasnya 180 ribu hektare, menciut menjadi sepertiganya pada 2007-2008. Lahan kacang kedelai untuk kurun waktu yang sama amblas 100 ribu hektare dari luas semula sekitar 220 ribu hektare, dan pertanian jagung anjlok dari 850 ribu hektare tinggal 500 ribu hektare.
Mugabe menuduh isolasi finansial yang masif yang dilakukan Amerika, Inggris, dan Uni Eropa melalui Zimbabwe Democracy and Economic Recovery Act (ZDERA) tujuh tahun lalu menjadi biang kerok tingginya inflasi negara itu. Menurut Mugabe, melalui ZDERA, Amerika melakukan berbagai upaya ke Dana Moneter Internasional dan lembaga keuangan lain untuk membatalkan kucuran utang buat Zimbabwe. Sanksi ini diberikan karena Zimbabwe terlibat perang dengan Kongo. Ia bahkan menuding Inggris berada di balik inflasi yang mengguncang negeri itu. Pria 84 tahun ini juga menyerang kaum oposisi sebagai boneka Inggris dan Amerika.
·         Golongan Inflasi
Inflasi Negara Republik Zimbabwe sudah mencapai pada titik Hyper-Inflation. Krisis keuangan di Zimbabwe beberapa tahun lalu telah membuat mata uang lokal akhirnya dihapus. Bank sentral Zimbabwe saat ini sudah menyediakan US$20 miliar untuk ditukar dengan mata uang lokal. Inflasi besar-besaran Zimbabwe pada tahun 2009 telah membuat kondisi ekonomi negara di benua Afrika tersebut hancur.
Dikonfirmasi bank sentral Zimbabwe, awal tahun 2015 ini, US$1 nilainya setara dengan 35 kuadriliun dolar Zimbabwe. Jika ditulis dengan angka lengkap adalah maka US$1 sama dengan 35.000.000.000.000.000 Dollar Zimbabwe. Sedangkan untuk mata uang Zimbabwe kuno, memerlukan 250.000 triliun untuk mendapatkan US$1. Saat terjadi inflasi parah, Bank Sentral Zimbabwe pernah mencetak uang kertas pecahan 100 triliun. Uniknya, uang sebanyak itu tidak akan cukup untuk membayar ongkos bus selama satu minggu.
·         Kebijakan dalam Mengatasi Inflasi
Jika Indonesia baru mempelajari rencana untuk melakukan redenominasi mata uang, Zimbabwe sudah melaksanakannya mulai 1 Agustus 2010. Tak tanggung-tanggung, Bank Sentral Zimbabwe meredenominasi dengan mengubah uang 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe atau menghilangkan 10 angka nol.
Gubernur Bank Sentral Zimbabwe Gideon Gono mengatakan kebijakan redenominasi ini dilakukan untuk membantu masyarakat keluar dari hiper inflasi yang terjadi di negara tersebut.
"Dolar Zimbabwe diredenominasi menjadi 1 sampai 10 dolar, yang artinya menghilangkan 10 angka nol dalam nilai nominal uang. Jadi uang 10 miliar dolar Zimbabwe diubah menjadi 1 dolar Zimbabwe mulai 1 Agustus 2010," tutur Gideon seperti dikutip dari Reuters, Selasa (3/8/2010).
Namun para analis merasa pesimistis dengan rencana ini. Mereka menilai kebijakan redenominasi ini tidak akan bisa mengakhiri kehancuran ekonomi negara tersebut yang disebabkan inflasi maha tinggi yaitu sebesar 2,2 juta persen. Ini merupakan inflasi tertinggi di dunia karena keterbatasan suplai makanan dan uang valas. "Kebijakan ini (redenominasi) hanya sebuah jalan keluar untuk menghilangkan banyaknya angka nol dalam mata uang mereka. Namun kebijakan ini tidak mengatasi akar dari masalah," ujar konsultan ekonomi John Robertson. Menurutnya, permasalahan yang dihadapi oleh negara tersebut adalah kelangkaan arus dana masuk atau investasi dari luar.
Daftar Pustaka: